seminar ekspedisi



Ini adalah kisah perjuangan ketika saya menjadi pucuk pimpinan Mapala Apache STMIK Banjarbaru di era milenial.

"Pemberontak" Era Milenial Chapter 1

Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y) adalah kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X). Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Gen-X yang tua. Milenial kadang-kadang disebut sebagai "Echo Boomers" karena adanya 'booming' (peningkatan besar) tingkat kelahiran pada tahun 1980-an dan 1990-an. Untungnya di abad ke 20 tren menuju keluarga yang lebih kecil di negara-negara maju terus berkembang, sehingga dampak relatif dari "baby boom echo" umumnya tidak sebesar dari masa ledakan populasi pasca Perang Dunia II. [1]

Sejak kenal dunia Mapala, saya sangat mengagumi sosok Soe Hok Gie yang mana beliau adalah seorang aktivis yang menentang rezim Presiden Pertama Indonesia kala itu. saya termotivasi dengan kata-katanya "Hidup adalah soal keberanian, menghapi yang tanda tanya, tanpa kita bisa mengerti dan menawar. Terimalah dan Hadapilah", dari kutipan ini saya menyadari bahwa mahasiswa memiliki peran penting dalam kemajuan sebuah bangsa sebagai agent of change.

Demi menjawab tantangan argumentasi diatas, maka saya memberanikan diri untuk mencalonkan sebagai Ketua Umum UKM Mapala Apache STMIK Banjarbaru. Tepat pada tanggal 19 Januari 2018, melalui pemilihan Ketua Umum Periode 2018-2019 pada Musyawarah Tahunan (MUSTA) ke-IX Mapala Apache. Saya terpilih dan diberi amanah untuk menjalankan roda organisasi selama satu periode.

Setelah terpilih menjadi ketua umum, yang ada dibenak saya adalah bagaimana menepis stigma mapala dimata khalayak umum! Sebuah hal sulit, namun bukan menjadi hambatan untuk melakukan perubahan. Caranya, Mapala harus mengadakan kegiatan positif. Agar dapat mengikis stigma yang melekat pada diri seorang Mapala.

Dengan mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam setiap kegiatan Mapala, saya kira dengan hal ini menjadikan masyarakat bisa melihat dan membuktikan bahwa stigma Mapala yang beredar selama ini adalah salah. Mapala sudah bertransformasi sebagai wadah mahasiswa merintis pengalaman berorganisasi yang sehat, berkarakter dan inovatif. Ini merupakan angin segar bahwa di era sekarang ini masyarakat terutama diwilayah perkampungan sangat antusias jika dikunjungi oleh anggota Mapala yang akan mengadakan kegiatan di daerah tersebut.

Tri Dharma Perguruan Tinggi terdiri dari tiga poin yaitu :
  1. Pendidikan dan Pengajaran
  2. Penelitian dan Pengembangan
  3. Pengabdian kepada Masyarakat [2]
Dengan bermodal pengalaman 4 tahun menjadi anggota Mapala Apache dan pengalaman di dunia kerja, saya mengkolaborasikan dua komposisi itu untuk mengadakan kegiatan-kegiatan di Mapala Apache ini menjadikan anggota agar lebih dekat dengan alam dan masyarakat. Pada akhir februari 2018, Mapala Apache mengadakan kegiatan Latihan Dasar (LATDAS). Ini merupakan tahap paling awal jika ingin menjadi seorang Mapala. Pada tahap ini calon anggota diwajibkan mengikuti pemberian materi ruang sebelum berangkat kelapangan untuk pengaplikasiannya. Dilapangan calon anggota selain didik mengenai dasar-dasar kepencinta alaman dan pengaplikasian materi ruang, para calon anggota pun diberi bekali dengan pendidikan karakter. Agar kelak calon anggota ini memiliki jiwa yang tangguh dan berintegritas serta berwawasan lingkungan.

pelantikan anggota muda
Pelantikan Anggota Muda Angkatan XII Mapala Apache

Sebulan kemudian, Kami mengadakan kegiatan Program SD Binaan. Program ini merupakan kegiatan sosialisasi pengenalan komputer dan lingkungan hidup dilingkungan sekolah dasar yang didaerah yang belum tersentuh teknologi. Kami disambut dengan tarian tradisional oleh para siswa SD Kecil Kiram. Sekalian memperingati Hari Air Sedunia yang jatuh pada 22 Maret 2018, kami pun mengadakan penanaman pohon disekitar SD Kecil Kiram Kec.Karang Intan Kab.Banjar. Dan diakhiri dengan pemberian kenang-kenangan kepada pihak sekolah. Pada dasarnya kami prihatin tentang kondisi kesenjangan sosial di Banjarbaru dan didaerah. Padahal jarak antara Kota Banjarbaru dengan Desa Kiram ini hanya setengah jam jika ditempuh dengan kendaraan bermotor. Jika di Banjarbaru anak-anak sekolah dasar sudah kenal bahkan memiliki gadget baik itu Komputer atau Smartphone, sedangkan di Kiram sendiri, Komputer atau Smartphone merupakan barang langka bagi siswa sekolah dasar. Suatu potret yang memprihatinkan, ketika kita hidup dikota tidak bisa lepas dari "gadget", sedangkan diluar sana masih banyak yang gaptek.
Tujuan Pendidikan itu untuk Mempertajam Kecerdasan. -Tan Malaka-

Bersambung...
“Pemberontak” Era Milenial 2

Sumber:
[1] Wikipedia
[2] Kompasiana