
Soe Hok Gie (1942 - 1969)
Sang pemberontak yang lahir di Jakarta 17 Desember 1942 adalah seorang Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia sekaligus aktivis yang menentang kediktatoran orde lama dan orde baru.
Meskipun masih sangat muda, sepak terjang Gie begitu fenomenal. Pemikiran-pemikirannya tentang kemanusiaan dan nasionalisme dapat ditelusuri dalam catatan hariannya. Ia sering kali melantangkan kebenaran dan hak-hak rakyat, khususnya kalangan bawah dan tertindas dengan melakukan aksi turun ke jalanan. Ia memilih berdemonstrasi dan berorasi, karena baginya membiarkan kesalahan adalah kejahatan. Ia juga mengasah ketajaman intelektualnya dengan mengadakan forum diskusi di kampus dan menyuarakan pemikirannya di berbagai media massa.
Gie kuliah di Universitas Indonesia dari tahun 1962 sampai 1969 dan kemudian ia menjadi dosen di almamaternya sampai kematiannya. Ia selama kurun waktu sebagai mahasiswa menjadi pembangkang aktif, memprotes Presiden Sukarno dan PKI. Gie adalah seorang penulis yang produktif, dengan berbagai artikel yang dipublikasikan di koran-koran seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya.
Sebagai seorang pendukung hidup yang dekat dengan alam, Gie seperti dikutip Walt Whitman dalam buku hariannya: "Sekarang aku melihat rahasia pembuatan orang terbaik itu adalah untuk tumbuh di udara terbuka dan untuk makan dan tidur dengan bumi." Pada tahun 1965, Gie membantu mendirikan Mapala UI, organisasi lingkungan di kalangan mahasiswa. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442MDPL, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.
Fakta Unik Seorang Soe Hok Gie:
Sebelum mendaki Semeru, ia mengirim bedak, gincu, dan cermin kepada 13 aktivis mahasiswa yang menjadi anggota DPR setelah Orde Baru berkuasa. Gie kecewa dengan teman-teman mahasiswanya di DPR. Mereka dianggap sudah melupakan rakyat, lebih mementingkan kedudukannya di parlemen. Buat Gie, aktivis mehasiswa sebagainya hanya menjadi kekuatan moral, bukan pelaku politik praktis.
Gie gencar mengkritik Partai Komunis Indonesia (PKI) dan perilaku politiknya. Ia menulis esai berjudul Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-besaran di Bali. Gie juga mengritik stigmatisasi kader PKI. Misalnya, dengan surat bebas G30S. Ia menganggapnya tak perlu.

Dia meninggal karena menghirup gas beracun saat mendaki gunung Semeru sehari sebelum ulang tahun ke 27. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Dia dimakamkan di tempat yang sekarang menjadi Museum Taman Prasasti di Jakarta Pusat.
Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
Referensi :
[1] Soe, Hok Gie (1983), Catatan Seorang Demonstran, Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
[2] Soe, Hok Gie (1995), Zaman Peralihan, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
0 Komentar